Presiden Republik Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PerPPu) Nomor 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja pada tanggal 30 Desember 2022. PerPPu ini dikeluarkan untuk menjalankan Putusan MK No. 91 tahun 2020, menggantikan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja, dengan alasan ada situasi mendesak untuk mencegah kegentingan dan kekosongan hukum.
PerPPu Cipta Kerja dikeluarkan telah terjadi perdebatan di masyarakat dan para ahli hukum, khususnya yang berkaitan dengan situasi mendesak/kegentingan sebagai alasan dikeluarkan PerPPu. Untuk memahami tentang penerbitan PerPPu No. 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja dalam konteks Ketatanegaraan Indonesia, Yayasan Forum Adil Sejahtera 90 (YFAS 90) mengadakan Diskusi Terbatas pada hari Kamis, 2 Maret 2023 di Hotel Balairung – Matraman, Jakarta Timur.
Diskusi terbatas ini menghadirkan narasumber dari pakar hukum ketatanegaraan dan narasumber dari praktisi hukum perburuhan, yaitu:
1. Bapak Prof. Dr. John Pieris, S.H., M.S., M.H, Ketua Program Studi Doktor Hukum Universitas Kristen Indonesia.
2. Endang Rokhani, S.H, M.Si (salah satu kuasa hukum dari Gerakan Kesejahteraan Nasional).
Diskusi terbatas dihadiri 35 orang dari berbagai organisasi/institusi dan media online yaitu: KPKB, Migrant Care, FSUI, Apindo DKI Jakarta, FSPMI, FSBMM, FGSBM, PPN SGB, FSPOP – KASBI, FGSPB, BOM, FPBI.
Direktur pelaksana FAS bapak Pelikson Silitonga, SH sebagai moderator menyampaikan beberapa point pengantar diskusi terbatas yaitu:
Kebijakan Perppu terdapat 2 unsur yaitu unsur subjektif dan unsusr objektif.
Unsur subjektif; Presiden mempunyai kewenangan untuk menetapkan Perppu.
Unsur Objektif: sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009 harus memuat 3 hal yakni:
1. Adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang;
2. Undang-Undang yang dibutuhkan belum ada, sehingga terjadi kekosongan hukum atau tidak memadainya Undang-Undang yang saat ini ada; dan
3. Kondisi kekosongan hukum yang tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa yang memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 9I/PUU-XVIII/ 2O2O disebutkan 2 hal menyangkut hal formal dan hal materiil.
Persoalan formil menurut pemerintah sudah dijawab oleh DPR dengan merevisi UU P3 (Pembentukan Peraturan Perundang-undangan) dengan menambahkan metode materi pembuatan UU dengan metode omnibuslaw.
Persoalan meteriil pada aspek partisipasi yang melibatkan pihak yang terdampak dan pihak yang menjadi perhatian.
Diskusi terbatas berlangsung selama 2 jam.
Narasumber dari Pakar hukum ketatanegaraan bapak Dr. John Pieris, S.H, M.S, M.H. menyampaikan materi tentang Penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja ditinjau dari hukum ketatanegaraan Indonesia”.
Dr. John Pieris menyampaikan bahwa hukum tatanegara berhubungan dengan politik, dan Mahkamah Konstitusi/MK tidak punya kewenangan eksekutorial. Tidak ada UU kegentingan yang memaksa, tapi presiden terbantu dengan putusan MK. Presiden tidak salah mengeluarkan perppu. Sistim politik sudah berubah, tapi kultur politik sama sekali tidak berubah --- tidak ada yang bisa diharapkan dari parlemen. Perppu membatalkan UU cipta kerja, padahal MK tidak membatalkan, hanya mengatakkan inkonstitusional bersyarat. Menjadi konstitusional syaratnya: revisi UU cipta kerja dan UU P3/Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Kalau mau melakukan pembangkangan jangan ke presiden tapi ke senayan/DPR.
Di tingkat pemerintah/presiden, Perppu tidak ada masalah, karena ada beberapa kebijakan yang mendukung dan juga kewenangan mutlak Presiden mengeluarkan Perppu. Hukum tatanegara: 90% politik, 10% hukum. Permen no. 18 harus dirubah, jangan lagi upah minimum tapi upah layak sesuai dengan UUD 1945.
Tujuan hukum ada 3 yaitu: 1. Kepastian hukum; 2. Keadilan; 3. Kemanfaatannya
Perppu sekaligus membatalkan UU. Dalam prakteknya UU itu harus dibatalkan pemberlakuannya oleh Mahkamah Konstitusi atau dibatalkan oleh UU. Pasal 7 UU No. 12 tahun 2011 tentang P3/Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyebutkan Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan bahwa UU sejajar dengan Perppu dan itu merupakan original power yang dimiliki presiden. Hukum itu produk politik, hukum itu juga variable independent dari kekuasaan; sangat tergantung dari kekuasaan dan sangat tergantung dari dinamika politik.
Narasumber Endang Rokhani, S.H, M.Si (Praktisi hukum perburuhan dan salah satu kuasa hukum dari Gerakan Kesejahteraan Nasional).
Kami menolak Perppu Cipta Kerja. Kekosongan hukum tidak terjadi, tidak ditemukan kegentingan memaksa karena isi dari Perppu no. 2/2022 adalah 99% identik dengan UU no. 11 tahun 2020 (UU cipta kerja).
Perppu akan selesai ketika DPR menerima atau menolak. Perppu Cipta kerja adalah sebuah pembangkangan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi, dan juga kesewenang-wenangan dari pembuat undang-undang karena pembentukan undang-undang tidak ada partisipasi publik.
SP/SB harus terlibat dalam proses pembentukan undang-undang karena SP/SB adalah salah satu kelompok sipil yang terorganiser sehingga punya daya yang cukup untuk melakukan pengawasan secara konstitusional. SP/SB paling mampu melakukan perlawanan baik secara konstitusional (melakukan judicial review) ataupun pressure grup. Berbagai peraturan yang dikeluarkan pemerintah seperti sangat tidak memperhatikan kepentingan rakyat Indonesia. Ketika Perppu cipta kerja ditolak seharusnya kembali ke undang-undang aslinya/undang-undang asal.
Putusan MK yang menyatakan bahwa tidak ada kekosongan hukum karena selama 2 tahun secara temporer UU asal masih tetap berlaku, minimal ada 2 putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan itu (putusan MK no. 64/PUU tahun 2021, dan putusan MK no. 10/PUU tahun 2022).
Gerakan buruh sangat signifikan untuk melakukan judicial review. Perjuangan yang harus dilakukan adalah :
1). Langkah kolektif wajib bagi kita.
2). Disamping melakukan pendekatan yuridis, perlu juga dilakukan pendekatan politis (bekerja sama dengan kelompok yang lebih kuat dalam posisi politiknya)
Pembangkangan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi berarti pembangkangan terhadap UUD 1945. Judicial review dari GeKaNas dari awal tentang materil dan formil, karena keputusan dari formilnya sudah diputuskan inkonstitusional bersyarat, tentu saja materiilnya jadi tidak dibahas. Tapi di formilnya, kami meminta 2 klaster yaitu ketenagakerjaan dan ketenagalistrikan tidak dimasukkan dalam UU cipta kerja.
Diakhir diskusi terbatas Pardomuan menyampaikan kesimpulan diskusi terbatas yakni:
- Lahirnya Perppu No. 2 tahun 2022 tentang cipta kerja adalah merupakan kewenangan Presiden.
- Syarat kegentingan yang memaksa, tidak ada yang mengatur dalam UUD 1945 sehingga menjadi parameter terbitnya Perppu no. 2 tahun 2022, putusan Mahkamah Konstitusi nomor 138/PUU-VII/2009.
- Mahkamah Konstitusi tidak mempunyai hak eksekutorial atau kekuasaan untuk melaksanakan sebuah putusan.
- Perlu ada pembangkangan konstitusional.
- Sistim politik di Indonesia berubah, tapi kultur politik para politisi tidak pernah berubah.
- Perlu ada pengawasan dari SP/SB dan melakukan kegiatan yang konstitusional misal; judicial review atau pun pendekatan pada politisi. (pds&srs)