Pada tanggal 25 Nopember 2021, adalah merupakan hari yang bersejarah bagi pergerakan serikat buruh/serikat buruh di Indonesia dimana pada saat itu, Mahkamah Konstitusi telah memutuskan permohonan berbagai serikat buruh/serikat pekerja terhadap Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Dikatakan merupakan sejarah bagi serikat pekerja/serikat buruh dikarenakan Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Undang-Undan Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja adalah inkonsitusional bersyarat. Dimana selama ini belum pernah Mahkamah Konstitusi mengabulkan pengujian Formal atas Undang-undang khususnya Undang-undang baik langsung maupun tidak langsung yang mengatur tentang pekerja/buruh
Sehubungan dengan Makamah Konstitusi mengeluarkan putusan no 91 tahun 2021 terkait pengujian UU No 11 tahun 2020 mengenai Cipta Kerja, maka LPBH-FAS sebagai salah satu lembaga yang berjuang untuk kesejahteraan buruh mengadakan workshop. Adapun maksud dan tujuan workshop adalah: Adanya pemetaan materi dan substansi hak-hak buruh terhadap kebijakan ketenagakerjaan khusus mengenai kebijakan pengupahan dan Pemutusan Hubungan Kerja (RUU yang baru); Adanya perumusan strategis advokasi yang akan dipergunakan dalam upaya mendorong masuknya berbagai substansi hak dan kepentingan buruh dalam RUU yang baru.
Workshop, diselenggarakan Kamis, 16 Desember 202, pukul 10.00-13.00 wib bertempat di Hotel Balairung, Matraman-Jakarta. Acara diawali dengan pemaparan opini dari Timboel Siregar, Koordinator Advokasi BPJS Watch dan Sekjen OPSI-KRPI, sebagai pengantar diskusi awal adapun materi yang disampaikan sebagai berikut: Menindaklanjuti Putusan MK
Tanggal 25 Nopember 2021 lalu Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutus perkara Nomor 91/PUU-XVIII/2020 terkait Pengujian UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Putusan MK ini menjadi perdebatan banyak kalangan, dari para pakar tata negara, praktisi akademik dan peneliti, para penggiat LSM, hingga serikat pekerja/serikat buruh (SP/SB).
Permohonan pengujian UU Cipta Kerja yang diajukan oleh Hakiimi Irawan Bangkid Pamungkas (karyawan swasta), Ali Sujito (mahasiswa), Muhtar Said, S.H., M.H (dosen), Migrant CARE, Badan Koordinasi Kerapatan Adat Nagari Sumatera Barat, dan Mahkamah Adat Alam Minangkabau, merupakan salah satu permohonan dari beberapa permohonan pengujian UU Cipta Kerja yang diajukan oleh banyak pihak baik secara perseorangan maupun institusi.
Banyaknya pihak yang mengajukan permohonan pengujian UU Cipta Kerja ini karena memang UU Cipta Kerja ini dengan metode Omnibus Law mengatur ulang banyak Undang-undang yang meliputi banyak isu, dengan 11 klaster isu, seperti lingkungan, kehutanan, invetasi, kesehatan, pendidikan, masalah ketenagakerjaan, dan lain sebagainya.
Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 ini hanya memutus masalah formilnya saja, yaitu proses pembuatan UU Cipta Kerja yang dinyatakan cacat formil karena tidak sesuai dengan UUD 1945, belum masuk ke ranah material yaitu pasal demi pasal di UU Cipta Kerja. Putusan MK terkait masalah formil ini merupakan putusam MK pertama yang menerima permohonan uji formil. Selama ini semua putusan MK hanya menyasar pada pengujian material, tidak pernah memutus soal masalah formil.
Sumber perdebatan atas putusan MK ini ada pada amar putusan MK itu sendiri yang tidak memberikan kepastian jelas dalam implementasinya sehingga menciptakan multi-intepretasi, khususnya pada kata “inkonstusional bersyarat”
Dalam amar putusanya Dalam Pokok Permohonan di point 3 Majelis Hakim MK menyatakan pembentukan UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan. Namun pada point 4 amar putusannya Majelis Hakim MK menyatakan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang waktu sebagaimana yang telah ditentukan dalam putusan ini.
Lalu pada point 5 diperintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan dan apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan maka UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja menjadi inkonstitusional secara permanen. Dan pada Point 6 amar putusannya memperkuat point 5, yaitu undang-undang atau pasal-pasal atau materi muatan undang-undang yang telah dicabut atau diubah oleh UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dinyatakan berlaku kembali;
Dan pada point 7 Majelis Hakim MK menyatakan untuk menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Atas putusan ini, terjadi perbedaan pendapat dalam memaknai putusan MK ini. Dalam rilisnya Menteri Koordinator Perekonomian menyatakan UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja tetap berlaku, dan Pemerintah akan patuh pada putusan MK ini dengan tetap menjalankan isi UU Cipta Kerja. Kalangan SP/SB berpendapat UU Cipta Kerja harus ditunda pelaksanaannya dan oleh karenanya penetapan Upah Minimum Propinsi (UMP) oleh Gubernur harus dicabut.
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBHI) beserta 17 LBH se-Indonesia menyatakan dengan putusan ini jelas Pemerintah dan DPR telah melanggar Konstitusi dengan melanggar prinsip pembuatan UU. Walaupun putusan Majelis Hakim MK menyatakan inkonstitusional bersyarat dimana Pemerintah diberikan kesempatan untuk memperbaikinya, putusan MK ini menggambarkan kekeliruan yang prinsipil. Pemerintah tidak boleh memberlakukan dulu UU Cipta Kerja dan menghentikan segala proses pembuatan dan penerapan semua aturan turunannya.
Tanpa Pelibatan SP/SB
Menurut saya, putusan Majelis Hakim MK yang menyatakan proses pembuatan UU Cipta Kerja cacat formil karena tidak sesuai dengan UUD 19945 adalah tepat, mengingat proses pembuatan UU Cipta Kerja dengan metode Omnibus Law tidak dikenal dalam UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan. Selain itu masyarakat tidak ikut terlibat dalam proses pembentukan UU cipta Kerja ini, yang dibuka ruang pelibatan masyarakat oleh Pasal 96 UU No. 12 Tahun 2011 tersebut.
Walaupun Menteri Koordinator Perekonomian mengeluarkan surat keputusan tim perumus klaster ketenagakerjaan RUU Cipta Kerja yang terdiri dari tiga pihak yaitu unsur SP/SB, Pengusaha dan Pemerintah, namun tim ini tidak melakukan pembahasan draft RUU Cipta Kerja klaster ketenagakerjaan karena draft sudah diserahkan ke DPR pada saat itu. Pada saat draft klaster ketenagakerjaan ditunda pembahasannya di DPR atas perintah Presiden, saat itu ada permintaan agar draft ditarik dahulu supaya dibicarakan oleh tim, namun Pemerintah tidak mau menarik draft tersebut sehingga draft yang dibuat oleh Pemerintah, Kadin dan Apindo itu yang menjadi acuan dalam pembahasan di DPR.
Lembaga Kerja Sama (LKS) Tripartit Nasional, berdasarkan PP no. 8 tahun 2005 junto PP No. 46 tahun 2008 junto PP No. 4 tahun 2017, yang mempunyai tugas memberikan pertimbangan, saran, dan pendapat kepada presiden dan pihak terkait dalam penyusunan kebijakan dan pemecahan masalah ketenagakerjaan secara nasional, tidak menjalankan fungsinya dengan baik sehingga penyusunan kebijakan ketenagakerjaan seperti isi UU Cipta Kerja klaster ketenagakerjaan tidak dbicarakan di LKS Tripatit Nasional. Presiden tidak pernah mendapatkan pertimbangan, saran, dan pendapat terkait RUU Cipta Kerja klaster ketenagakerjaan dari LKS Tripartit.
Dampak dari proses pembuatan UU Cipta Kerja tanpa pelibatan masyarakat ini menyebabkan isi UU Cipta Kerja mendapat penolakan dari masyarakat, dan berujung pada proses permohonan pengajuan (judicial review) UU Cipta Kerja ini ke MK oleh berbagai elemen masyarakat.
Khusus untuk klaster ketenagakerjaan, beberapa SP/SB pada tingkatan pengurus unit kerja, tingkat federasi dan konfeerasi mengajukan judicial review UU Cipta Kerja ke MK. Pengajuan judicial review ini pun menyasar dua fokus yaitu masalah formil dan materiil. Dengan hadirnya UU Cipta Kerja yang dioperasional dengan empat Peraturan Pemerintah (PP), hak-hak normative pekerja/buruh menjadi menurun, khusunya hak-hak normative yang diatur dalam PP No 35 Tahun 2021 tentang PKWT, Alih Daya, Waktu Kerja dan PHK, dan PP No. 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan.
Ketentuan hak normative yang diatur dalam UU Cipta Kerja junto PP No. 35 Tahun 2021 menurunkan tingkat perlindungan pekerja/buruh, seperti klausula pada Pasal 59 tentang perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) diperlakukan menjadi paling lama 5 tahun, yang sebelumnya maksimal 3 tahun. Lalu Pasal 66 tentang alih daya, yang sebelumnya hanya bisa diterapkan pada jenis pekerjaan pendukung, namun saat ini bisa dilakukan untuk semua jenis pekerjaan.
Tentang alasan PHK yang diperluas menjadi 26 alasan PHK, yang sebelumnya di UU No. 13 tahun 2003 hanya sebanyak 15 jenis alasan PHK, tentunya membuka ruang lebih mudah untuk mem-PHK pekerja. Salah satu alasan baru untuk melakukan PHK ada di UU Cipta Kerja junto Pasal 46 PP No. 35 Tahun 2021 yaitu perusahaan dapat mem-PHK pekerja/buruh ketika perusahaan dalam keadaan penundaan kewajiban pembayaran utang. Alasan PHK ini tidak ada di UU No. 13 Tahun 2003, dan alasan PHK ini sangat subyektif dan akan sangat mudah digunakan perusahaan mem-PHK pekerja/buruh.
Masalah penetapan upah minimum (UM) 2022 sedang menjadi polemik antara SP/SB dan Pemerintah-Pengusaha. Kalangan SP/SB terus melakukan demonstrasi dan mogok kerja menolak penetapan UMP yang rata-rata sebesar 1.09 persen, di bawah nilai rata-rata inflasi. Para Gubernur telah menetapkan UMP 2022, dengan mayoritas gubernur menetapkan UMP sesuai rumus yang ada di PP No. 36 Tahun 2021, dan ada 4 gubernur yang menetapkan tidak ada kenaikan UMP di propinsinya yaitu Sumatera Selatan, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat.
Masalah penetapan UM 2022 akan terus diwarnai oleh aksi demonstrasi dan mogok kerja. SP/SB menilai kenaikan rata-rata 1,09 persen akan menurunkan tingkat daya beli pekerja/buruh dan keluarganya. Upah riil akan menurun sehingga mengancam tingkat kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya.
Dengan perhitungan kenaikan UM menggunakan rata-rata konsumsi per kapita, rata-rata jumlah anggota rumah, jumlah rata-rata anggota rumah tangga yang bekerja, serta memilih antara pertumbuhan ekonomi propinsi atau inflasi propinsi, saya memperkirakan kenaikan UM tiap tahunnya bisa di bawah tingkat inflasi di masing-masing propinsi. Dan ini akan menjadi masalah serius bagi kesejahteraan pekerja/buruh. Jangan sampai pekerja/buruh bekerja dengan kondisi upah riil terus menurun, dan jangan sampai pekerja/buruh bekerja menuju kemiskinan riil.
Bila saja pada saat proses pembentukan UU Cipta Kerja pihak Pemerintah mau melibatkan SP/SB dengan serius dan berkualitas, bukan sekadar sosialisasi satu arah, dan LKS Tripartit bekerja dengan baik sehingga mampu memberikan pertimbangan, saran, dan pendapat kepada Presiden dan pihak terkait dalam penyusunan kebijakan di UU Cipta Kerja maka pasal-pasal yang dihasilkan akan bisa diterima oleh SP/SB, dan semua pihak akan mendukungnya.
Tindaklanjut Putusan MK
UU Cipta Kerja sudah berjalan sejak 2 Nopember 2021, dan berbagai regulasi turunan sudah disahkan juga, namun dalam satu satu amar putusan MK menyatakan Pemerintah melakukan perbaikan dalam pembentukan UU Cipta Kerja, dan untuk hal-hal yang bersifat strategis dan berdampak luas agar UU Cipta Kerja ditangguhkan terlebih dahulu.
Sebagai bentuk tindak lanjut dari perintah melakukan perbaikan dalam pembentukan UU Cipta Kerja, saya berharap Pemerintah dan DPR segera melibatkan masyarakat dan seluruh pemangku kepentingan dalam membahas kembali isi pasal-pasal dalam UU Cipta Kerja, sehingga perintah Putusan MK benar-benar dilaksanakan.
Pemerintah dan DPR harus transparan dan melibatkan semua pihak, jangan memilih-milih masyarakat atau pemangku kepentingan yang diajak bertemu untuk membicarakan pasal-pasal dalam UU Cipta Kerja. Pemerintah dan DPR harus membuka ruang perbaikan atas usulan-usualan yang diajukan oleh masyarak dan para pemangku kepentingan.
Terkait dengan perintah untuk menangguhkan pelaksanaan isi UU Cipta Kerja terkait dengan hal-hal yang bersifat strategis dan berdampak luas, saya berharap Pemerintah segera mematuhi perintah putusan MK tersebut.
Dalam pertimbangan hukumnya di point 3.20.5, Majelis Hakim MK menyadari bahwa pelaksanaan UU Cipta Kerja selama ini berdampak bagi masyarakat sehingga ada aksi penolakan atas pelaksanaan UU Cipta Kerja tersebut. Saya kira Pemerintah harus terbuka dalam menindaklanjuti pertimbangan point 3.20.5 ini, dengan menyisir pasal-pasal di UU Cipta Kerja yang memang memberikan dampak negative bagi masyarakat selama UU Cipta Kerja beroperasi. Dan tentunya masyarakat dan pemangku kepentingan pun harus memberikan masukan atas persoalan yang dihadapi di lapangan sejak berlakunya UU Cipta Kerja.
Isi lengkap pertimbangan hukum Majelis Hakim MK dalam point 3.20.5 adalah bahwa untuk menghindari dampak yang lebih besar terhadap pemberlakuan UU Cipta Kerja selama tenggang waktu 2 (dua) tahun tersebut Mahkamah juga menyatakan pelaksanaan UU Cipta Kerja yang berkaitan hal-hal yang bersifat strategis dan berdampak luas agar ditangguhkan terlebih dahulu, termasuk tidak dibenarkannya membentuk peraturan pelaksana baru serta tidak dibenarkan pula penyelenggara negara melakukan pengambilan kebijakan strategis yang dapat berdampak luas dengan mendasarkan pada norma UU Cipta Kerja yang secara formal telah dinyatakan inkonstitusional secara bersyarat tersebut.
Sebagai tindak lanjut Putusan MK terkait klaster ketenagakerjaan, Pemerintah dan DPR segera mengajak SP/SB untuk berunding kembali mengenai pasal-pasal di klaster ketenagakerjaan. Beberapa pasal di UU Cipta Kerja yang harus mendapatkan prioritas perbaikan adalah tentang PKWT, alih daya, alasan dan kompensai PHK, Pengupahan dan Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan. Tentunya selain itu secara simultan LKS Tripartit pun bekerja mengkajinya dan memberikan saran dan pertimbangan kepada Presiden terkait penerapan UU Cipta Kerja selama ini.
Sejak berlakunya UU Cipta Kerja dan PP No. 35 Tahun 2021 sudah banyak pekerja yang mengalami PHK sepihak dengan mendapat kompensasi PHK yang lebih kecil dibandingkan kompensasi PHK yang diatur di UU No. 13 Tahun 2003. Pekerja yang memasuki pensiun hanya mendapatkan 1,75 kali ketentuan Pesangon termasuk tidak lagi mendapatkan penggantian hak sebesar 15 persen. Nilai kompensasi PHK karena alasan pensiun ini turun dari ketentuan di UU No. 13 Tahun 2003 yang mengatur 2 x ketentuan Pesangon dan masih mendapatkan penggantian hak sebesar 15 persen.
Demikian juga ketentuan norma kerja yang ada di Perjanjian Kerja Bersama (PKB) dan Peraturan Perusahaan (PP), saat ini banyak yang diubah dengan mengikuti ketentuan yang ada di UU Cipta Kerja dan PP No. 35 Tahun 2021.
Walaupun kedudukan hukum PKB sebagai produk perjanjian antara SP/SB dan Manajemen di tempat kerja namun sudah banyak manajemen yang mengubah secara sepihak isi PKB tersebut, tanpa dirundingkan lagi dengan SP/SB. Manajemen mengeluarkan Surat Edaran (SE) untuk mengubah sepihak isi PKB, dan SE ini yang menjadi konflik baru antara SP/SB dan Manajemen. Sudah ada beberapa SP/SB yang memperselisih SE ini ke Pengadilan Hubungan Industrial.
Saya menilai dampak penerapan UU Cipta Kerja dan PP No. 35 Tahun 2021 tersebut merupakan hal yang bersifat strategis dan berdampak luas. Banyak pekerja yang sudah mengalami dampak negative dengan penerapan UU Cipta Kerja dan PP 35 tersebut. Demikian juga penerapan kedua regulasi tersebut memicu semakin banyaknya perselisihan hubungan industrial hingga ke Mahkamah Agung.
Untuk menghindari dampak yang lebih besar terhadap pemberlakuan UU Cipta Kerja ini kepada pekerja/buruh maka seharusnya Pemerintah segera menunda pelaksanaan UU Cipta Kerja dan PP No. 35 Tahun 2021 ini sesuai pertimbangan hukum Majelis Hakim MK pada point 3.20.5 beserta amar putusan point 7, sehingga tidak bertambah pekerja/buruh yang mengalami kerugian.
Penetapan UMP dan UMK tahun 2022 yang menggunakan rumus penetapan upah minimum di PP No. 36 Tahun 2021, tentunya juga akan berdampak pada kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya. Nilai upah riil yang menurun karena rata-rata kenaikan UMP 2022 sebesar 1,09 persen, di bawah nilai rata-rata inflasi menjadikan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya menurun.
Masalah upah minimum merupakan hal yang bersifat strategis dan berdampak luas, bukankah Pemerintah sudah menetapkan Upah minimum sebagai program startegis nasional, dan oleh karenanya untuk menghindari dampak yang lebih besar lagi terhadap pemberlakuan UU Cipta Kerja dan PP No. 35 Tahun 2021 maka seharusnya Pemerintah segera menunda pelaksanaan UU Cipta Kerja dan PP No. 36 Tahun 2021 ini. Seluruh surat keputusan Gubernur tentang kenaikan UMP dan UMK harus ditunda pelaksanaannya.
Penundaan penetapan UMP di PP No. 36 Tahun 2021 sangat diharapkan dapat menurunkan tensi aksi demonstrasi dan mogok kerja yang terus dilakukan SP/SB saat ini. Apalagi dengan adanya ancaman varians Covid-19 yang baru dan prediksi adanya gelombak ketiga di Indonesia, maka penundaan tersebut juga akan menghindari terjadinya klaster baru di tempat kerja. Bila tempat kerja menjadi klaster baru maka hal ini akan mengacam keberlangsungan dan keberlanjuta proses produksi di tempat kerja.
Selagi penetapan UM ditunda, Pemerintah, Apindo dan SP/SB bisa merumuskan hal-hal baru tentang UM, seperti merekomendasikan rumus baru tentang penetapan upah minimum. Pemerintah bisa menawarkan formula baru di Pasal 26 ayat (5) PP No. 36 Tahun 2021 dengan menjumlahkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi propinsi, sebagai pengganti ketentuan saat ini yang memilih antara inflasi atau pertumbuhan ekonomi propinsi, mana yang lebih besar. Dengan menjumlahkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi propinsi maka nilai kenaikan UMP/K akan lebih besar dari nilai inflasi.
Demikian juga dengan peran Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam mendukung daya beli pekerja, sudah saatnya sistem pengupahan di Indonesia melibatkan APBN dan APBD khusus untuk mensubsidi belanja pekerja/buruh yang bergaji sebatas upah minimum. Ketentuan ini bisa bisa diatur dalam PP No. 36 Tahun 2021.
Apakah PP No. 37 Tahun 2021 yang mengatur tentang Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) ikut ditunda? Menurut saya program JKP ini belum beroperasi, dan akan beroperasi mulai Februari 2022. Oleh karenanya PP No. 37 ini tidak perlu ditunda pelaksanannya.
Namun demikian, ada beberapa ketentuan di PP No. 37 yang harus direvisi, sebelum berlaku di Februari 2022. Pasal 20 PP No. 37 Tahun 2021 membatasi beberapa alasan PHK seperti mengundurkan diri dan PKWT jatuh tempo, tidak mendapatkan manfaat JKP. Ketentuan ini bertentangan dengan Pasal 46C ayat (1) UU Cipta Kerja dan Pasal 16 UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN).
Pasal 46C ayat (1) UU Cipta Kerja menyatakan peserta JKP adalah setiap orang yang telah membayar iuran, dan Pasal 16 UU SJSN menyatakan setiap peserta berhak memperoleh manfaat dan informasi tentang pelaksanaan program jaminan sosial yang diikuti. Faktanya pekerja yang PKWT nya jatuh tempo dan yang mengundurkan diri adalah peserta yang membayar iuran, dan oleh karenanya mereka seharusnya mendapatkan manfaat JKP juga.
Mengingat kedudukan PP di bawah Undang-undang, maka Pemerintah harus merevisi ketentuan Pasal 20 tersebut dengan memberikan manfaat JKP kepada pekerja yang PKWTnya jatuh tempo dan pekerja yang mengundurkan diri.
Tidak hanya itu, program JKP pun harus bisa menjamin kepesertaan jaminan sosial ketenagakerjaan bagi pekerja yang mengalami PHK tetap berlanjut, sehingga pekerja yang terPHK tetap terlindungi. Ketentuan ini belum ada di PP No. 37 Tahun 2021, oleh karenanya ini bisa menjadi bagian yang diikutkan dalam proses revisi PP No. 37 Tahun 2021.
Penutup
Semangat kehadiran UU Cipta Kerja yang diyakini Pemerintah akan mengundang banyak investasi sehingga membuka lapangan kerja lebih banyak lagi dan bisa menurunkan tingkat pengangguran terbuka, harus mendapatkan dukungan dari seluruh rakyat Indonesia. Dan oleh karenanya putusan MK menjadi pengingat bagi Pemerintah dan DPR bahwa masih ada persoalan dengan lahirnya UU Cipta Kerja dan regulasi turunannya saat ini.
Putusan MK harus dijadikan evaluasi pelaksanaan UU Cipta Kerja dan regulasi turunannya. Bila Pemerintah dan DPR tidak merespon putusan MK ini dengan baik dan bijak maka tidak menutup kemungkinan perdebatan tentang UU Cipta Kerja ini akan berlanjut terus di meja MK, di meja Mahkamah Agung atau pun di Pengadilan lainnya.
Keberhasilan cita-cita Pemerintah ke depan ditentukan oleh respon Pemerintah dan DPR dalam menindaklanjuti Putusan MK ini. Semoga putusan MK menjadi awal hadirnya UU Cipta Kerja yang lebih baik dan diterima oleh seluruh rakyat Indonesia.
Dan ada juga sebuah catatan yang dibuat oleh Bivitri Susanti (ahli hukum tata negara, Peneliti)
Poin2 penjelasan Putusan MK mengenai Uji Formil UU Cipta Kerja (Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020)
- Menyatakan “Proses Pembentukan” RUU Cipta Kerja inkonstitusional, tetapi UU ini tetap berlaku, sampai dengan UU diubah 2 tahun sejak putusan (25 November 2023).
- Apabila sampai dengan 25 November 2023, UU yang baru tidak juga dibuat, maka UU Cipta Kerja yang sekarang menjadi tidak berlaku lagi dan semua yang sudah diubah oleh UU Cipta Kerja menjadi berlaku lagi.
- Meminta pemerintah menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana “baru” yang berkaitan dengan UU Cipta Kerja. Pertanyaan yang mungkin timbul: Apakah PP yang sudah ada tetap berlaku? Ya, karena yang dianggap inkonstitusional adalah PROSES Pembentukan, tetapi UU dan segala peraturan yang sudah ada tetap berlaku, hanya tidak boleh membuat peraturan pelaksana baru dan kebijakan lainnya yang bersifat strategis.
- Putusan ini tidak bulat karena ada 4 hakim yang berpendapat berbeda, yaitu Arief Hidayat, Anwar Usman, Manahan M.P. Sitompul, dan Daniel Yusmic P. Foekh.
Komentar:
Putusan ini patut diapresiasi karena MK mengkonfirmasi buruknya proses perumusan UU Cipta Kerja ini. Bila tidak ada putusan ini, maka praktik buruk ini bisa mendapat legitimasi sehingga mungkin akan terus berulang.
namun demikian, bila dilihat dari amar putusan dan adanya 4 dari 9 hakim yang berpendapat berbeda, Putusan ini memang seperti “jalan tengah.” Dan jalan tengah ini sesungguhnya menimbulkan kebingungan karena putusan ini mengatakan bahwa sebuah proses legislasi inkonstitusional, artinya sebenarnya sebuah produk yang dihasilkan dari proses yang inkonstitusional ini juga inkonstitusional, sehingga tidak berlaku. Tetapi putusan ini membedakan antara proses dan hasil. Sehingga yang dinyatakan inkonstitusional hanya prosesnya, tetapi UU nya tetap konstitusional dan berlaku.
Untuk uji formil, adanya putusan yang mengabulkan permohonan adalah yang pertama dalam sejarah. Tidak mungkin MK bisa menolak lagi permohonan uji formil ini, karena memang segala cacat formil yang didalilkan para pemohon cukup sederhana untuk dibuktikan di persidangan karena bahkan cukup kasat mata bagi publik, seperti tidak adanya naskah akhir sebelum persetujuan. Namun di sisi lainnya, bila melihat rekam jejak MK, kita juga bisa melihat bagaimana MK selalu melakukan pertimbangan politik, tidak hanya hukum. Karena itulah, jalan keluarnya adalah “conditionally unconstitutional” atau putusan inkonstitusional bersyarat selama 2 tahun. Meski dikabulkan, sebenarnya ini bukan sebuah “kemenangan” bagi pemohon karena UU Cipta Kerja tetap berlaku sampai 2 tahun lagi. Yang masih bisa sedikit melegakan adalah karena tidak boleh lagi ada peraturan pelaksana (PP dan Perpres yang diperintahkan secara eksplisit untuk dibuat) dalam 2 tahun ini. Tetapi inipun berarti, peraturan pelaksana yang sudah ada dan penuh kritik, tetap berlaku.
Selanjutnya:Uji materil yang masih berlangsung (berbagai pasal tengah diuji) tetap harus dipantau untuk melihat norma-norma yang mungkin dinyatakan inkonstitusional ataupun ditafsirkan oleh MK sehingga juga akan menyumbang pada pembahasan selama 2 tahun ini.
DPR dan Pemerintah WAJIB mempelajari baik-baik pertimbangan MK untuk memperbaiki proses legislasi dalam memperbaiki UU Cipta kerja seperti yang diperintahkan oleh MK, sehingga semua asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik harus dipenuhi ssecara substantif. Dua tahun bukan waktu yang sedikit untuk memulai kembali proses legislasi ini.
Kita semua harus mengawasi apakah pemerintah benar-benar (i) menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas dan (ii) TIDAK menerbitkan peraturan pelaksana “baru” yang berkaitan dengan UU Cipta Kerja.
Setelah diskusi dibuka dengan pemaparan opini Timbuel maka sessi dilanjutkan dengan perumusan strategis advokasi yang akan dipergunakan dalam upaya mendorong masuknya berbagai substansi hak dan kepentingan buruh dalam RUU yang baru dan langkah konrit yang akan dilakukan kaum buruh dilapangan sebelum diperbaikinya UU Cipta kerja ini. Diskusi ini dipandu oleh Ajeng Kusuma
Adapun organiasi yang hadir dalam wokshop ini antara lain FBTP, KSGBN, FPBI Perak, FGSBM Migrant Care, KPKB dan beberapa media online. Catatan akhir Workhop adalah UU No 11 tahun 2020 Inkonstitusional, cacat formil dan salah prosediur. Seluruhmateri terkait pemenuhan hak-hak buruh dalam UU no 11 tetap harus dikawal terutama mengenai Pengupahan, Hubungan Kerja dan hak buruh lainnya. Menolak implementasi seluruh aturan turunandan akan membuat legislatif Review dan Eksekutif Review. Membuat Gugatan rakyat melalui PTUN, Advokasi ke DPR, uji Materi ke MA dan JR. Harapan setelah Workshop ini usai masih ada diskusi lanjutan
Media yang menuliskan kegiatan workshop ini bisa dibaca linknya sebagai berikut
https://monitorindonesia.com/2021/12/timboel-siregar-harap-putusan-mk/